Slide # 1

Deret Kapal Di Pelabuhan Sunda Kelapa

Jika anda berkunjung ke Pelabuhan Sunda Kelapa, akan anda temukan deret kapal yang sangat indah! Read More

Slide # 2

Langit Malam Di Pelabuhan Sunda Kelapa

Menghabiskan hari dan menikmati pemandangan yang tak akan habis2nya, sampailah malam yang begitu mempesona! Read More

Slide # 3

Kapal-Kapal Yang Berlabuh

Kapal-Kapal yang berlabuh itu membawa sejuta asa bagi mereka yang mengais rejeki di sana! Read More

Slide # 4

Kontras

Sangat menarik, melihat tigas sisi yang kontradiktif, Kapal yang berlabuh, Peti kemas yang berderet, dan Gedung pencakar langit Jakarta! Read More

Slide # 5

Meraih Asa di Pelabuhan Sunda Kelapa

Dantara Kapal dan Peti Kemas, ada mereka yang mengais asa! Read More

Selasa, 02 Juli 2013

POLITIK DAN ARSIP

POLITIK DAN ARSIP

KORAN TEMPO, MINGGU, 28 APRIL 2013

MUHIDIN M. DAHLAN – WARUNGARSIP

Sudah satu dekade lebih alaf berlari di waktu-publik Indonesia. Tentu saja kereta waktu itu membawa sampah sosial-politik sekaligus inovasi peradaban. Di antara muatan itu tak ada peristiwa arsip yang paling menghebohkan halaman depan dan trending topic media cetak serta media daring kecuali, salah satunya dokumen sprindik (surat perintah penyidikan) kasus korupsi (tersangka) Anas Urbaningrum . Tak pelak arsip kemudian menjadi perdebatan, pengelolaan, kerahasiaan dan juga badai politik yang mengepungnya. Yang mengherankan di antara di antara badai arsip itu , para arsiparis absen. Nyaris tak ada satupun pewarta yang merekam pendapat mereka soal “sprindik” yang dibutuhkan memang bukan arsiparis dengan kerja tukang yang tampaknya makin rudin di abad digital yang menggila seperti sekarang ini . Yang muncul adalah “detektif arsip”.

Detektif arsip adalah domain politik arsip. Kita memang selalu butuh arsiparis dengan kecakapan teknis. Tapi soal arsip dan politik yang tampil adalah detektif. Dalam biodata pendidikan Anies Baswedan  yang menjadi ketua Komisi Etik KPK (khusus “sprindik”) misalnya tak ada satu pun yang tercantum pendidikan kearsipan. Tapi kita tahu ia menjadi pemimpin ia menjadi pemimpin pemburu berita bocornya “sprindik” KPK. Dan kerjanya sukses.

Dalam pendidikan kearsipan barangkali tak dikenal bidang yang bernama kerja politik arsip (baca:dtektif arsip) karena itu ketika muncul penghancuran wikileaks pada awal dekade kedua abad ini, arsiparis berijazah tenang-tenang saja. Padahal apa yang dilakukan Julian Assange adalah kerja (politik) arsip. Bersama timnya Julian mencari mengunggah dan menyebarkan arsip-arsip rahasia negara (kejahatan) sebuah negara.

Kita tahu ledakan kasus Julian “wikleaks” itu kemudian menjadi bahan bakar bagi para aktivis demokrasi untuk menentang RUU yang didesain pemerintah cum militer tentang keamanan negara dan keterbukaan informasi kepada publik. Julian Assange lebih dikenal sebagai jurnalis dan aktivis internet serta sama sekali tak ada satupun catutan atasnya sebagai seorang arsiparis, mencari, mengumpulkan, mengamankan dan menyebarkan . Julian memang lebih tepat disebut detektif (arsip) karena kemampuannya melakukan penelusuran dengan hasil yang membuat masyarakat sipil terkaget-kaget dan penguasa (juga pengusaha hitam) jantungan.

Satu paket

Kita memang butuh kehadiran dan pengabdian arsiparis-arsiparis dengan pendidikan dan keahlian teknis di atas rata-rata. Tapi kita juga butuh detektif arsip. Sebab arsip bukan hanya soal dokumen tapi juga soal malpraktek untuk kejahatan-kejahatan besar kekuasaan yang terencana (politik) . Naif bila kita menyebut arsip kalis dari politik. Bukalah sejarah salah satu tokoh kunci pergerakan kebangsaan awal yakni Tirto Adhi Soerjo yang dihancurkan D.A. Rinkes.

Penasihat Pemerintah untuk urusan pribumi itu menggunakan gerakan arsip yang rapi untuk mencatat, mengontrol, memojokkan dan menumbangkan Tirto dari gelanggang pergerakan, tepat seratus tahun silam. Pramoedya Ananta Toer menyebut gerakan arsip Rinkes itu lewat metafora “rumah kaca”.

Dengan arsip gerak-gerik Tirto terlacak tanpa sekat. Dengan tangan pengadilan Tirto dibuang dan usaha dagangnya dipailitkan. Bukan hanya itu arsip-arsip tersebut juga dimasukkan Rinkes ke kotak pandora. Hasilnya 40 tahun usaha-usaha Tirto di jalan pergerakan raib tak berbekas. Oleh gerakan arsip itu Tirto dibunuh dua kali dalam sejarah.

Ada contoh lain. Bergolaknya peristiwa Madiun, september 1948, sebelumnya dimulai dengan provokasi arsip “Red Drive Proposals” Dalam dokumen itu disebutkan Amerika menjanjikan sekitar US$ 56 juta kepada pemerintah Soekarno-Hatta asalkan PKI bisa dibasmi. Pada 1965 ketika hubungan PKI – Angkatan Darat meruncing, AS melakukan operasi black letter  (surat kaleng) . Dokumen “Gilchrist” tentang Dewan Jendral dari Duta Besar Inggris untuk kementrian luar negri Inggris di London menjadi provokasi ketegangan yang berakhir dengan memilukan : pembantaian massal.

Kita tak pernah tahu arsip atau dokumen “Red Drive Proposals” atau “Gilchrist” itu ada atau tidak . Misteriusnya dua dokumen itu setara dengan kasus arsip “Supersemar” yang menjadi karpet merah berkuasanya Soeharto. Nyaris tak ada arsiparis yang meneliti begitu sentralnya arsip-arsip itu dalam pengambilan keputusan (politik) yang pelik. Mungkin tak disentuh karena hal itu dianggap diluar domain pekerjaan arsiparis. Yang justru menyuntuki pelacakan kebenaran arsip-arsip itu adalah sejarawan cum jurnalis.

Tiga contoh dokumen yang tersaji itu hanya contoh ekstrem yang tampak di paras sejarah Indonesia ihwal bagaimana arsip dan politik berada dalam satu paket. Untuk mencari , mengurai, menjelaskan dan memberikan putusan , diperlukan sosok-sosok baru dengan keahlian khusus. Sosok itu bernama detektif arsip. Dengan cara kerja arsiparis berkemampuan khusus itu tentu tak terbayangkan bila Kepala BIN justru berasal dari arsiparis. Inilah yang pernah terjadi di Inggris.

Pada tahun 1992 – 1996 pemerintah Inggris mempercayakan badan intelijennya M15 dipimpin arsiparis Dame Stella Rimington yang berpendidikan dan bekerja sebagai arsiparis sejak 1959 di Worcester, menjadi contoh sahih bagaimana dunia intelijen (detektif) dan arsip berada  dan dalam satu paket. Yang tak juga dilupakan Rimington adalah seorang novelis yang salah satu karyanya diganjar Booker Prize pada tahun 2011.

Mungkin harapan itu terlampau jauh terealisasi ketika frase “detektif” masih mutlak dikuasai militer. Tapi kemampuan khusus “detektif arsip” jika kita menjadikannya sebagai sikap sehari-hari bisa memberi kesadaran baru. Yakni kita tidak akan mudah terbohongi oleh teror dan malapetaka sosial oleh kasus yang disebabkan malpraktek arsip. Seperti kata sastrawan cum dokumentator Pramoedya Ananta Toer :”Jika kamu rajin mengarsip kamu tak akan pernah bisa dibohongi oleh kekuasaan apapun”

0 komentar:

Posting Komentar